Perwakilan Suku Awyu dan Suku Moi mendatangi Gedung Mahkamah Agung (MA) di Jakarta pada 27 Mei 2024. Kedua suku dari Papua tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu menuntut putusan hukum untuk membatalkan izin perkebunan dan pabrik sawit yang akan mengancam hutan adat mereka.
Suku Awyu yang berasal dari Kabupaten Boven Digoel diwakili oleh Hendrikus Franky Woro dalam aksi damai tersebut. Beberapa lembaga NGO seperti Greenpeace dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat turut bersuara dengan perwakilan Suku Awyu. Mereka sedang mempertahankan tanah ulayat Marga Woro-bagian dari suku Awyu seluas 36.094 hektar, yang setara setengah area Jakarta, dari rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit PT. Indo Asiana Lestari (IAL).
Boven Digoel merupakan salah satu Kabupaten dengan tingkat deforestasi tertinggi kedua di Papua. Dilansir dari Global Forest Watch, sejak tahun 2001 hingga 2023, Papua kehilangan 744 ribu ha tutupan hutan yaitu setara dengan penurunan 2.5% tutupan hutan sejak tahun 2000, dan setara dengan 566 juta ton emisi CO₂e.
Perizinan ini sebetulnya bertolak belakang dengan konsep pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam Enhanced Nationally Determined Contibution (NDC) Indonesia, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030.
“Pasalnya, jika Mahkamah Agung tidak mengabulkan gugatan Suku Awyu, maka IAL akan membabat hutan dan menghasilkan emisi sekitar 23.08 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari tingkat emisi karbon pada 2030” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum.
Juli 2022 Franky menyampaikan permohonan informasi publik ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua tentang perizinan PT IAL, namun upaya tersebut tak berhasil. Kemudian Maret 2023 Franky mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata usaha Negara Jayapura untuk memohon pencabutan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL, namun upaya tersebut juga kandas Gugatan Franky di pengadilan tingkat pertama dan kedua tidak berhasil. Kini, Suku Awyu hanya berharap dari kasasi di Mahkamah Agung.
Selain permasalahan PT IAL, masyarakat Suku Awyu juga sedang mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya (MJR), dua perusahaan sawit yang sudah beroperasi dan akan berekspansi di Boven Digoel. Kedua perusahaan tersebut sebelumnya kalah di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim.
Adapun Suku Moi yang berasal dari Kabupaten Sorong, sedang bersama melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan menguasai 18.160 ha hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. Sebelumnya SAS sudah memegang izin konsesi seluas 40.000 ha di Kabupaten Sorong.
Dilansir dari Mongabay, pada tahun 2021 Bupati Sorong mencabut izin lokasi, izin lingkungan dan izin usaha SAS, namun hal ini batal karena gugatan perusahaan menang. Kemudian pada tahun 2022, pemerintah pusat mencabut izin perusahaan tersebut, namun tak terima dengan keputusan itu, perusahaan kembali menggugat dan memenangkan gugatannya di PTUN Jakarta.
Sebagai perlawanan, Masyarakat Adat Moi Sigin mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Kemudian hakim menolak gugatan itu pada Januari lalu sehingga Masyarakat Adat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung 3 Mei 2024. Kedua suku tersebut melewati proses panjang demi mempertahankan Hutan Adat mereka. Walaupun nantinya hasil belum tentu sesuai harapan, mereka tak akan berhenti menempuh langkah hukum. Mari kita terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Suku Awyu dan Moi agar Hutan Adat tetap bisa dipertahankan.

Jakarta, 27 Mei 2024, Suku Awyu dan Suku Moi, menggunakan pakaian khas suku masing-masing , mendatangi Gedung Mahkamah Agung untuk melaksanakan aksi damai terkait gugatan terhadap Konsesi Sawit.